Tombak
Pusaka Kyai Plered
Selepas
runtuhnya kedhaton Majapahit yang ditandai dengan sengakalan Sirna Ilang
Kertaning Bhumi, maka putra-putri Brawijaya V juga menyebar ke berbagai daerah.
Satu diantara pangeran tersebut bernama Raden Bondan Kejawen. Dialah ayah
dari Ki Ageng Getas Pendowo yang menurunkan Ki Ageng Selo. Nama terakhir ini
terkenal sebagai tokoh legenda yang konon dapat menaklukkan, bahkan menangkap
petir dalam sebuah pertempuran yang sangat dahsyat hingga meninggalkan api
abadi di daerah Mrapen. Dirinyalah pula yang menciptakan tombak Kyai Plered,
sebuah pusaka yang kemudian secara turun-temurun menjadi piandel bagi dinasti
Mentawisan.Tombak sakti inilah yang kelak diturunkan kepada Ki Ageng Enis dan
sampai kepada Ki Ageng Pemanahan dan Danang Sutawijaya. Di masa pemerintahan
Sultan Hadiwijaya di Pajang, terjadilah upaya kraman, perebutan hak waris atas
tahta Demak, yang dilakukan oleh Arya Jipang atau dikenal pula sebagai Arya
Penangsang. Dalam suatu peperangan yang sangat sengit akhirnya tombak Kyai
Plered berhasil disarangkan ke perut Arya Jipang hingga mbrodhol, terurai
ususnya. Dan pemberontakan pun berhasil dipadamkan. Kokon, saat Arya Penangsang
yang telah menguasai Demak semakin bengis. Ia berniat membinasakan Sultan
Hadiwijaya di Pajang. Untuk itu, ia mengutus empat orang anak buahnya ke
Pajang. Setibanya di sana, keempat utusan tersebut justru tertangkap oleh
Sultan Hadiwijaya. Namun, mereka tidak dihukum melainkan diberi hadiah dan
disuruh kembali ke Jipang. Kepulangan keempat utusan yang membawa hadiah
tersebut membuat Arya Penangsang sangat marah. Ia pun memutuskan untuk
menghabisi nyawa Hadiwijaya dengan tangannya sendiri.Sultan Hadiwijaya yang
mengetahui kabar tersebut menganggap Arya Penangsang telah memberontak terhadap
Pajang. Untuk menghadapi pemberontak itu, Sultan Hadiwijaya mengadakan
sayembara. Barang siapa mampu membinasakan Arya Penangsang, maka ia akan diberi
hadiah tanah di daerah Pati dan hutan Mataram. Atas desakan Ki Juru Martani, Ki
Ageng Pamanahan dan adik angkatnya, Ki Penjawi, yang merupakan abdi dalem
Sultan Hadiwijaya, pun ikut dalam sayembara tersebut.
Ki
Juru Martani menyarankan kepada Ki Ageng Pamanahan untuk mengusahakan agar
mereka dapat membawa tombak pusaka Kyai Plered milik Sultan Hadiwijaya ke medan
perang karena hanya tombak itulah yang mampu melukai Arya Penangsang. Atas
saran Ki Juru Martani, Ki Ageng Pamanahan memohon kepada Sultan Hadiwijaya
untuk membawa serta anak angkat sang Sultan yang bernama Danang Sutawijaya ke
medan perang. Dengan begitu, Sultan Hadiwijaya akan meminjamkan keris pusakanya
kepada putra angkatnya itu. Sultan Hadiwijaya pun menyetujuinya.Pada hari yang
telah ditentukan, Ki Ageng Pamanahan bersama rombongannya berangkat menuju
daerah Jipang. Setibanya di tepi sungai Bengawan Solo yang merupakan tapal
batas wilayah Sela dan Jipang, Sutawijaya berdiri di samping seekor kuda betina
putih yang akan ditungganginya untuk menghadapi Arya Penangsang. Di tangannya
tergenggam tombak pusaka Kyai Plered yang ujungnya ditutupi kain putih dan
diberi rangkaian bunga melati.Di tepi sungai, tampak seorang pekatik
(pemelihara kuda) sedang mencari rumput untuk kuda milik Arya Penangsang. Ki
Juru Martani menangkap pekatik itu lalu melukai telinganya dan mengalunginya
surat tantangan. Setelah itu, si pekatik disuruh segera kembali ke Jipang untuk
menghadap Arya Penangsang. Setibanya di Jipang, pekatik itu segera menyerahkan
surat itu kepada Patih Matahun untuk dibaca di hadapan Arya Penangsang. Mengetahui
isi surat itu, Arya Penangsang marah, ia segera mengenakan pakaian perang dan
keris pusakanya, Kyai Brongos Setan Kober dan menunggang kuda andalannya, Kyai
Gagak Rimang.Setibanya di tepi sungai, Arya Penangsang melihat Sutawijaya
sedang menunggang kuda putih di seberang sungai, yang sudah siap dengan tombak
pusakanya, Tombak Kyai Plered. Melihat kedatangan Arya Penangsang, Sutawijaya
berteriak “Hai, Penangsang!
Lawanlah
aku kalau kamu berani!”Dada Arya Panangsang bagai dibakar api mendengar suara
anak kecil yang menantangnya itu. Segera ia menarik tali kekang Kyai Gagak
Rimang menyeberang sungai untuk menghampiri Sutawijaya. Senang hati Sutawijaya
melihat Arya Penangsang mendahuluinya mencebur ke sungai. Konon, jika terjadi
peperangan Sungai Bengawan Solo, yang lebih dahulu turun ke sungai pasti
akan kalah.Sutawijaya segera menghela kuda putihnya turun ke sungai. Begitu ia
berhadapan dengan Arya Penangsang, Sutawijaya memutar arah kudanya sehingga
membelakangi kuda Arya Penangsang. Gagak Rimang pun tiba-tiba bertingkah aneh
dan menjadi liar karena kuda yang ditunggangi Sutawijaya ternyata kuda betina.
Kemaluan kuda putih terlihat dengan jelas karena ekornya sengaja diikat ke
atas.Melihat Arya Penangsang sibuk mengendalikan kudanya, Sutawijaya menusukkan
tombak pusaka Kyai Plered ke perut Arya Penangsang hingga robek hingga sebagian
ususnya terburai. Meski demikian, Arya Penangsang yang sakti itu masih hidup.
Ia berusaha meraih ususnya yang terburai itu lalu dikalungkannya pada warangka
keris pusakanya, Kyai Setan Kober. Setelah itu, ia mengejar Sutawijaya dan
berhasil meraih tubuh Sutawijaya dan membantingnya hingga tak berdaya. Arya
Penangsang lalu menginjak dada Sutawijaya.Melihat putranya dalam keadaan
bahaya, Ki Ageng Pamanahan segera keluar dari tempat persembunyiannya. Ia
berpura-pura memihak kepada Arya Penangsang.“Hai, Arya Penangsang! Habisi saja
nyawa putra Sultan Hadiwijaya itu!” teriak Ki Ageng Pamanahan. Dengan geram, ia
segera mencabut keris Kyai Brongot Setan Kober dari pinggangnya. Namun, ia lupa
jika sebagian ususnya tersampir di warangka keris pusaka itu. Begitu ia
mengangkat keris itu, seketika itu pula ususnya terputus. Tak ayal lagi, tubuh
Adipati Jipang itu tersungkur ke tanah dan tewas seketika.
No comments:
Post a Comment