Petruk
kang dadi Ratu anyar penegen ngedekake negara anyar . deweke pengen ngobrak
ngabrik Ngamarta, nanging sadurunge sowan maring Prabu kresna Gathotkaca matur
yenpetruk ngosak-ngasik ngamarta. Sak drunge kuwi wrekudara matur karo
kakangekresna yen jimat kalimasada ilang ora reti parane, kresna duka lan di
ireh-ireh baladewa.
Ning
sadurunge tekan ana ing negara Dorowati, Petruk kang anjelma dadi ratu mau
dicegat Prabu Baladewa sing wis reti menawane Petruk arep anggempur negara
Dorowati, nanging Prabu Baladewa kalah klawan Petruk.
Sidane
Gendruwaraja teka amarga dijaluki tulung dening Semar lan Gendruwaraja ngerti manawane
Prabu Tong Tong Sot mau kuwi jelmaane Petruk amarga gaman sing diduweni dening
Petruk sing awale kuwi saka dheweke. Petruk kang njelma dadi Ratu mau sidane
bisa dikalahake dening Gendruwaraja, lan jebul Petruk uga nyolong Jimat
Kalimasadane Pandawa.Petruk njaluk ngapura lan mbalikake Jimat Kalimasada
banjur digawa karo Gendruwaraja amarga arep diakon tapa 100 dina kanggo
ngetaske alane.
eradaannya sebagai ratu, dan wahyu Widayat,
yang melestarikan hidupnya sebagai ratu. Ketiga wahyu itu kemudian hinggap pada
diri Petruk. Ia pun akhirnya dapat menjadi raja di negara yang dinamainya
Lojitengara. Ia menggelari dirinya Prabu Wel-Geduwel Beh!. Untuk kukuh menjadi
raja, ternyata ia membutuhkan damper kerajaan Astina, warisan Palasara. Petruk
memerintahkan kepada kedua patihnya, Bayutinaya—titisan Anoman—dan
Wisandhanu—titisan Wisanggeni, anak Arjuna--, untuk mencuri tahta Palasara itu.
Kedua utusan itu berhasil membawa pulang tahta tersebut. Prabu Wel-geduwel Beh
mencoba duduk di atasnya. Begitu duduk, ia pun terjungkal. Ia coba lagi
berulangkali. Sang Prabu akhirnya menyerah dan memperoleh bisikan melalui
penasihat kerajaan bahwa supaya tidak terjungkal, ia harus memperoleh boneka
yang bisa dililing (dilihat dan ditimang). Petruk kembali menyuruh kedua
utusannya, Bayutinaya dan Wisandhanu untuk mencari boneka yang dimaksud. Tanpa
memperoleh rintangan yang berarti, kedua utusannya berhasil membawa boneka itu
yang tak lain adalah Abimanyu yang sedang sakit. Ketika dipangku Prabu
Wel-Geduwel Beh, Abimanyu sembuh. Dan Abimanyu berkata, "Kamu takkan bisa
menduduki tahta itu, jika kamu tidak memangku aku". "Pada saat itulah
saya mengalami, bahwa saya ini hanyalah kawula. Dan saya sadar, saya akan tetap
tinggal sebagai kawula, tak mungkinlah saya bisa duduk sebagai raja. Tugas saya
hanyalah memangku raja, agar ia dapat menduduki tahtanya. Tuanku Abimanyu dapat
duduk di tahta raja karena saya memangkunya. Jadi raja itu takkan bisa menjadi
raja, kalau tidak dipangku kawula, rakyat jelata seperti saya ini", kata
Petruk sambil memandang tanah datar di hadapannya.
Dulu Petruk tidak tahu, mengapa ketiga wahyu itu pergi meninggalkan tuannya dan hinggap padanya. Sekarang ia paham, wahyu sebenarnya hanya pergi untuk sementara. Ia pergi hanya untuk nitik, menengok siapakah yang memangku orang yang kedunungan (dihinggapi) wahyu. Wahyu itu tidak asal hinggap. Dia akan hinggap pada orang yang layak dihinggapi, dan orang yang layak itu haruslah orang yang dipangku Petruk, sang rakyat dan sang kawula ini. Maka setelah tahu, bahwa Petruklah yang memangku Abimanyu, wahyu itupun berhenti menitik dan ketiganya kembali kapada Abimanyu. Di hadapan tanah datar itu, pikiran Petruk melayang lagi. Ia sedih mengingat gugurnya Abimanyu dalam Perang Bharata Yudha. Petruklah yang menggendong jenazah Abimanyu. Petruk pula yang membakar mayat Abimanyu menuju alam Mokshaya. "Saya ini hanyalah rakyat. Betapa pun hinanya diri saya, hanya saya yang bisa mengantarkan Sang Raja menuju alam kesempurnaannya. Sampai ke Moksha pun, raja itu bergantung pada kawula. Hanya rakyatlah yang dapat menyempurnakan hidup raja, bahkan ketiak ia berhadapan dengan akhiratnya", ujar Petruk.
"Memang, kawula, sang rakyat ini ada sepanjang zaman. Sementara raja itu tidaklah abadi. Ia bertahta hanya dalam masa tertentu. Ketika masa itu lewat, ia harus turun atau binasa. Sementara rakyat terus ada. Buktinya, saya ini ada di sepanjang zaman. Menjadi punakawan, hamba yang menemani penguasa dari masa ke masa, sampai hari ini. Kawula iku ana tanpa wates, ratu kuwi anane mung winates ( rakyat itu ada tanpa batas, sedangkan raja itu ada secara terbatas)", kata Petruk. Petruk makin menyadari, siapa diri rakyat itu sebenarnya. Hanyalah rakyat yang dapat membantu penguasa untuk menuliskan sejarahnya. "Maka seharusnya penguasa itu menghargai kawula. Penguasa itu harus berkorban demi kawula, tidak malah ngrayah uripe kawula (menjarah hidup rakyat). Kwasa iku kudu ana lelabuhane (kuasa itu harus mau berkorban). Kuasa itu bahkan hanyalah sarana buat lelabuhan, kendati ia masih berkuasa, ia tidak akan di-petung (dianggap) oleh rakyat. Raja itu bukan raja lagi , kalau sudah ditinggal kawula. Siapa yang dapat memangkunya, agar ia bisa menduduki tahta, kalau bukan rakyat? Raja yang tidak dipangku rakyat adalah raja yang koncatan (ditinggalkan) wahyu," kata Petruk. Tapi Ki Petruk, mengapa banyak penguasa yang tak memperhatikan kawula,menginjak-injak dan menghina kawula, toh tetap dapat duduk di tahtanya? "Dalam pewayangan pun ada penguasa yang tak dipangku rakyat seperti saya. Dia adalah Dasamuka yang lalim. Dia adalah Duryudana yang serakah. Seperti halnya hanya ada satu tahta Palasara, demikian pula hanya ada satu tahta rakyat. Duryudana berkuasa, tapi tak pernah berhasil menduduki tahta Palasara. Banyak penguasa berkuasa, tapi mereka sebenarnya tidak bertahta di dampar yang sebenarnya, yakni dampar rakyat ini", jawab Petruk. Tiba-tiba Petruk mendengar, tanah datar di hadapannya itu bersenandung. Makin lama semakin keras bahkan menjadi senandung Panitisastra: dulu tanah itu adalah hutan lebat yang bersinga. Singa bilang, kalau hutan tak kujaga tentu ia akan dibabat habis oleh manusia. Dan hutan bilang, kalau singa tak kunaungi dan pergi dariku, pasti ia akan ditangkap oleh manusia. Akhirnya singa dan hutan sama-sama binasa. Singa yang tak berhutan dibunuh manusia, hutan yang tak bersinga dibabat manusia…. "Raja dan rakyat harus wengku-winengku (saling memangku), rangkul-merangkul, seperti singa dan hutan, seperti Abimanyu dan Petruk", kata Ki petruk menyenandung tembang Panitisastra.
Dulu Petruk tidak tahu, mengapa ketiga wahyu itu pergi meninggalkan tuannya dan hinggap padanya. Sekarang ia paham, wahyu sebenarnya hanya pergi untuk sementara. Ia pergi hanya untuk nitik, menengok siapakah yang memangku orang yang kedunungan (dihinggapi) wahyu. Wahyu itu tidak asal hinggap. Dia akan hinggap pada orang yang layak dihinggapi, dan orang yang layak itu haruslah orang yang dipangku Petruk, sang rakyat dan sang kawula ini. Maka setelah tahu, bahwa Petruklah yang memangku Abimanyu, wahyu itupun berhenti menitik dan ketiganya kembali kapada Abimanyu. Di hadapan tanah datar itu, pikiran Petruk melayang lagi. Ia sedih mengingat gugurnya Abimanyu dalam Perang Bharata Yudha. Petruklah yang menggendong jenazah Abimanyu. Petruk pula yang membakar mayat Abimanyu menuju alam Mokshaya. "Saya ini hanyalah rakyat. Betapa pun hinanya diri saya, hanya saya yang bisa mengantarkan Sang Raja menuju alam kesempurnaannya. Sampai ke Moksha pun, raja itu bergantung pada kawula. Hanya rakyatlah yang dapat menyempurnakan hidup raja, bahkan ketiak ia berhadapan dengan akhiratnya", ujar Petruk.
"Memang, kawula, sang rakyat ini ada sepanjang zaman. Sementara raja itu tidaklah abadi. Ia bertahta hanya dalam masa tertentu. Ketika masa itu lewat, ia harus turun atau binasa. Sementara rakyat terus ada. Buktinya, saya ini ada di sepanjang zaman. Menjadi punakawan, hamba yang menemani penguasa dari masa ke masa, sampai hari ini. Kawula iku ana tanpa wates, ratu kuwi anane mung winates ( rakyat itu ada tanpa batas, sedangkan raja itu ada secara terbatas)", kata Petruk. Petruk makin menyadari, siapa diri rakyat itu sebenarnya. Hanyalah rakyat yang dapat membantu penguasa untuk menuliskan sejarahnya. "Maka seharusnya penguasa itu menghargai kawula. Penguasa itu harus berkorban demi kawula, tidak malah ngrayah uripe kawula (menjarah hidup rakyat). Kwasa iku kudu ana lelabuhane (kuasa itu harus mau berkorban). Kuasa itu bahkan hanyalah sarana buat lelabuhan, kendati ia masih berkuasa, ia tidak akan di-petung (dianggap) oleh rakyat. Raja itu bukan raja lagi , kalau sudah ditinggal kawula. Siapa yang dapat memangkunya, agar ia bisa menduduki tahta, kalau bukan rakyat? Raja yang tidak dipangku rakyat adalah raja yang koncatan (ditinggalkan) wahyu," kata Petruk. Tapi Ki Petruk, mengapa banyak penguasa yang tak memperhatikan kawula,menginjak-injak dan menghina kawula, toh tetap dapat duduk di tahtanya? "Dalam pewayangan pun ada penguasa yang tak dipangku rakyat seperti saya. Dia adalah Dasamuka yang lalim. Dia adalah Duryudana yang serakah. Seperti halnya hanya ada satu tahta Palasara, demikian pula hanya ada satu tahta rakyat. Duryudana berkuasa, tapi tak pernah berhasil menduduki tahta Palasara. Banyak penguasa berkuasa, tapi mereka sebenarnya tidak bertahta di dampar yang sebenarnya, yakni dampar rakyat ini", jawab Petruk. Tiba-tiba Petruk mendengar, tanah datar di hadapannya itu bersenandung. Makin lama semakin keras bahkan menjadi senandung Panitisastra: dulu tanah itu adalah hutan lebat yang bersinga. Singa bilang, kalau hutan tak kujaga tentu ia akan dibabat habis oleh manusia. Dan hutan bilang, kalau singa tak kunaungi dan pergi dariku, pasti ia akan ditangkap oleh manusia. Akhirnya singa dan hutan sama-sama binasa. Singa yang tak berhutan dibunuh manusia, hutan yang tak bersinga dibabat manusia…. "Raja dan rakyat harus wengku-winengku (saling memangku), rangkul-merangkul, seperti singa dan hutan, seperti Abimanyu dan Petruk", kata Ki petruk menyenandung tembang Panitisastra.
Banyak
yang mengartikan lakon Petruk Dadi ratu sebagai sebuah simbol ketidak becusan
seorang pemimpin, atau seorang yang tidak layak menjadi pemimpin dijadikan
pemimpin wal hasil adalah kekacauan. Bisa juga di artikan sebagai khayalan yang
berlebih, lha masak Petruk pengen jadi pemimpin ?, jongos mau jadi Raja.
Meski
sebenaranya hal itu tidaklah tepat, karena pada dasarnya Petruk adalah bukan
manusia biasa, Petruk merupakan cerminan dari salah satu pribadi Semar.
Kesaktian Petruk melebihi kesaktian para Dewa dan Penguasa mayapada Baca
Tentang Siapa Petruk. Lantas apa yang mendasari kemudian keluarnya lakon Petruk
Dadi ratu ?, jawabannya adalah kekacauan dan ketidakseimbangan.
Segalanya
berjalan sudah tidak pada fitrahnya, sudah tidak pada tempatnya. Dimana
Pebisnis menjadi pejabat, dimana pemuka agama menjadi wakil rakyat, dimana
pelawak menjadi wakil rakyat. Apa yang terjadi jika kuda makan sambal, bahkan
doyan sambal ? yang terjadi adalah keliaran, sang kuda ngamuk. Apa yang terjadi
jika kambing suka makan daging ? yang terjadi adalah kambing menjadi buas. Apa
yang terjadi ketika harimau memakan rumput ? yang terjadi adalah harimau
menjadi pengecut.
Dalam
dunia pewayangan, saat gonjang-ganjing sudah sampai pada taraf yang sangat
tidak wajar, para punakawan—Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong—mulai
membangkang. Puncak pembangkangan terjadi ketika Petruk melabrak Kahyangan
Jonggring Saloko (istana para penguasa), mengobrak-abrik dan mendekonstruksi
tatanan yang selama ini dipakai para penguasa serta para elite untuk
berselingkuh dan melakukan manipulasi.
Arjuna,
sang sang pimpinan yang biasanya dilayani punakawan, dipaksa mematuhi titah
Petruk, sang raja baru. Saat itulah Petruk membuka seluruh aib para penguasa.
Yang perlu disingkapi dalam lakon ini adalah bukan khayalan seperti versi umum,
melainkan adalah Petruk sebagai pemimpin Revolusi yang menjungkir balikan
tatanan khayangan yang pada saat itu memang sudah sangat kacau. Petruk
merevolusi semua tatanan agar kembali pada tempat yang semestinya.Dan itu hanya
dilakukan oleh Petruk dalam 1 malam, hal ini menyiratkan bahwa Petruk adalah
pribadi yang sadar akan peranannya, setelah semua baik, semua berjalan normal,
maka Petruk kembali kepada peranan awalnya menjadi seorang pengabdi.
No comments:
Post a Comment